Pemberlakuan NIK Kepabeanan

Ditjen Bea dan Cukai Klaim Pemberlakuan NIK Berjalan Lancar

Meskipun timbul sikap penolakan dari perusahaan, terutama para pengusaha yang bergerak di sektor ekspor impor terhadap pemberlakuan Nomor Identitas Kepabeanan (NIK), Bea Cukai mengklaim 90% perusahaan ekspor-impor sudah terjaring program registrasi kepabeanan dan sudah memiliki NIK.

Hingga 2 Januari 2012, jumlah perusahaan ekspor-impor dan perusahaan lain yang berkaitan dengan layanan kepabeanan sudah mencapai 13.855 perusahaan. "Jumlah yang sudah memiliki NIK  mencapai 13.855 perusahaan. Dan, yang sedang diproses sekitar 1.200 sehingga lebih dari 90 persen importir dan eksportir aktif sudah memiliki NIK," ujar Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Susiwijono.

Menurut Susiwijono, registrasi kepabeanan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.04/2011 tanggal 30 Maret 2011. Program ini telah disosialisasikan sebanyak 30 kali di beberapa kota besar di Indonesia.

"Kami tidak spesifik mengundang setiap asosiasi karena jumlahnya banyak sekali. Namun, sebagian besar asosiasi selalu hadir, termasuk media massa. Sosialisasi juga dilakukan dengan media iklan di koran nasional berkali-kali," tuturnya.

Apa yang disampaikan Susiwjono tersebut, tentu bertolak belakang dengan kondisi yang disampaikan para pelaku usaha, melalui asosiasi dan perkumpulan masing-masing. Seperti yang sempat diberitakan, bahwa Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) dan Kadin meminta pemerintah untuk menunda pemberlakuan regulasi NIK. Asmindo dan Kadin memandang bahwa regulasi NIK ini masih sangat lemah dan banyak kekurangan, sehingga merugikan para pelaku usaha ekspor impor.

Melalui Ketua Umum Asmindo, Ambar Tjahjono, Asmindo mendapat laporan dari anggota-anggotanya dan di daerah, bahwa regulasi NIK ini kurang tersosialisasi dengan baik sehingga menghambat aktivitas usaha mereka, seperti terhambatnya kontainer perusahaan dalam melakukan proses ekspor.

Ambar mengatakan akibat tertahannya kontainer menyebabkan pelaku industri mebel dan kerajinan kehilangan pendapatan hingga 100 juta dolar Amerika atau sekitar Rp900 miliar. Saat ini, lanjut Ambar, terjadi penundaan keberangkatan kontainer di beberapa daerah seperti di Surabaya sebanyak 150 perusahaan mebel dan kerajinan tidak bisa mengekspor produknya karena tertahan di Pelabuhan. Begitu juga di Jepara yang mencapai 300 perusahaan, kemudian di Solo mencapai 200 perusahaan. "Diperkirakan lebih dari 1.000 perusahaan mebel dan kerajinan tidak bisa mengekspor produknya," tutur dia.




Popular Posts