Pemerintah Harus Jeli Nilai Kontrak Karya Tambang
Charles MS

INILAH.COM, Jakarta - Pemerintah seharusnya jeli dalam menilai Kontrak Karya perusahaan tambang.

Hal ini disampaikan pengamat pertambangan MS Marpaung, Senin (18/7) malam. "Betul kontrak karya itu harus dihormati dan jangan mudah berubah-ubah. Cuma berapa lama, satu, dua, tiga atau lima tahun," tandasnya.

Menurutnya, sebetulnya bisa diambil satu periode dalam kontrak karya yang ditetapkan (30 tahun plus 10 tahun plus 10 tahun) untuk melakukan evaluasi. Kapan? Pada waktu selesai 30 tahun, untuk yang 10 tahun berikutnya harus ada pertanyaan. Jadi tidak langsung diperpanjang begitu saja," tukasnya.

Seharusnya, lanjut Marpaung, setelah 30 tahun masa kontrak distop dulu. "Karena apa pun bentuknya, kontrak karya itu harus bisa mengembalikan nilai investasinya dan untung," tegasnya.

Sementara, dari data yang ada, dari 51 ribu hektar lahan tambang yang ada, yang baru tergarap hanya 9 ribu hektar. "Sisanya masih belum dan seharusnya distop."

Jadi, tambahkan, pemerintah bisa merenegosiasikan lagi kontrak karya ini setelah masa 30 tahun. Tapi, untuk melakukan evaluasi terhadap kontrak karya ini, pemerintah harus memiliki kekuatan argumen dan finansial, serta harus menghormati kontrak karya yang ada.

Dijelaskan, sering terjadi, sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir, perusahaan tambang sudah menjanjikan yang muluk-muluk kepada pemerintah seperti mengatakan telah menemukan cadangan hasil tambang yang besar dan telah ada pembelinya dari negara tertentu. "Ini dilakukan agar pemerintah bisa dengan mudah memperpanjang kontrak-karyanya," ujarnya.

Bukan hanya itu, peraturan perundang-undangan yang menyebutkan kerugian tambang perusahaan tambang bisa dibawa 2-3 tahun. "Ini aturan yang tidak benar, yang seharusnya usahan tambang itu tidak boleh rugi. Tapi malah ada perusahaan tambang yang membawa kerugiannya sampai 5 tahun," katanya.


Popular Posts